(cerpen) LIFE STEALER

Ini adalah dunia fiksi dimana manusia tidak hanya mempunyai "satu nyawa". Mereka dapat memiliki hingga berpuluh-puluh nyawa, bahkan hingga berjuta-juta nyawa, semuanya tergantung seberapa banyak mereka telah MEMBUNUH SESAMANYA.

MAIN RULE :
1. Setiap membunuh seorang manusia, maka bertambahlah 1 nyawa bagi pembunuhnya.
2. Jika seseorang memiliki (misal) 4 nyawa, maka dia harus dibunuh sebanyak 4 kali agar mati secara mutlak.
3. Semakin banyak nyawa yang dimiliki, maka semakin memperpanjang jangka hidup (umur / fisik) orang tersebut.

Akhirnya, sudah beribu-ribu tahun kekacuan yang terjadi di bumi, sampai pada tahun 2010 ini pun masih terus berlanjut. Semuanya disebabkan oleh manusia, makhluk yang paling hina di muka bumi. Suatu pola rantai makanan yang salah telah terjadi entah semenjak kapan, orang paling renta pun belum mengetahui kapan awal dimulainya kanibalisme ini. Ya, suatu rantai makanan dimana manusia adalah rajanya, raja yang membunuh sesama raja untuk bertahan hidup. Mungkin dulu masih ada beberapa orang yang mengalah untuk tidak bertahan hidup dengan kanibalisme semacam itu. Namun sekarang? coba kau lihatlah sendiri kawan, dunia ini tak ubahnya neraka, semuanya lebih kejam daripada hukum rimba.

"Yang kuat yang menang?" hah, yang benar saja. Disini tak hanya kuat yang dibutuhkan, meski kau kuat tapi hanya mempunyai 1 nyawa, tetap saja kau akan binasa melawan pembunuh sejati yang telah mempunyai banyak nyawa. Mungkin kau bisa membunuhnya 5 kali, 10 kali, 20 kali, 90 kali; tapi coba bayangkan jika orang yang kau lawan tersebut memiliki 700 nyawa. Percuma kau tancapkan pedangmu berpuluh-puluh kali ke tubuhnya, hasilnya jika kau hanya mempunyai 1 nyawa, toh tetap saja kau mati ditangannya dengan satu serangan vital.

"Percuma dirimu berdoa; didunia ini tidak ada Tuhan, Dewa, bahkan Iblis sekalipun "

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kini aku sendiri, setelah 7 tahun lalu keluargaku dibunuh oleh orang itu. Masih segar dalam pikiranku ketika kulihat dia merenggut nyawa ayah, ibuku, dan kakakku; mengintip dari loteng rumah aku hanya bisa menahan tangis dalam hati, dan terus bersembunyi. Wajah laknat itu tak akan kulupakan...

Sampai hari ini tetap kulanjutkan langkahku menyusuri jalanan Veal, kota hancur dimana masih ada sisa-sisa manusia dimuka bumi ini. Oh iya lupa kuceritakan, sekarang dunia sudah mulai sepi oleh manusia, telah banyak manusia yang telah dimatikan (oleh sesama manusia) untuk hidup, ya semuanya hanya memiliki ego bertahan hidup dengan membunuh sesama. Ada manusia yang berkeluarga dan mempunyai anak, namun banyak pula keluarga yang langsung membunuh bayi yang baru saja dilahirkan, dengan alasan untuk memperpanjang hidupnya. Dan ketika ada diantara mereka yang merasa hidupnya semakin sedikit, membunuh dalam satu keluarga adalah hal yang lumrah. Hah! manusia memang gila..

Sama seperti diriku, aku pun ingin membunuh seseorang, hanya 1 orang, Orang hina yang kulihat 7 tahun lalu membantai keluargaku; warna bola matanya hitam, lebih hitam dari awan mendung yang saat ini kulihat, dengan ekspresi wajah yang selalu terseyum, dan rambut yang sudah memutih. Entah sekarang sudah berapa umur atau nyawanya, aku tak peduli; yang kupedulikan hanyalah tujuanku, membunuhnya...

Tiga tahun berlalu,
Aku masih menyusuri Veal dengan hati-hati, selalu lari dari pertempuran, selalu bersembunyi jika ada pertempuran, selalu menghindar dari tatapan kelaparan orang yang kutemui. Bukannya aku takut, tapi apa daya dari seorang bocah 14 tahun yang hanya mempunyai satu nyawa bila dibandingkan dengan kanibal-kanibal level tinggi di kota ini. Mereka mempunyai berpuluh-puluh nyawa bahkan menurutku sebagian dari mereka ada yang telah memiliki ratusan nyawa.
Yang kulakukan hanya bertahan hidup, mencuri makanan kaleng dari supermarket, pusat perbelanjaan, dan toko lainnya yang sama-sama sudah tidak berpenghuni lagi di reruntuhan kota ini. Kadang saat mengambil makanan kulihat tulang belulang berserakan, pikirku mungkin penjaga toko yang telah menjadi korban kebengisan sesama spesiesnya.

15 Februari 2010, pukul 20.15...
Hujan, sederas darah mereka mengucur..
Halilintar, sebising terikan makhluk sampah..
Dingin, tanpa ada lagi kesucian..
Gelap, secara abadi jiwa mereka terlelap..
Dia hanya tertawa, seakan mengiringi terbangnya nyawa..

Hingga akhirnya tanpa sengaja aku melihat pertempuran antar makhluk yang disebut manusia itu. Entah apa penyebabnya, logika seorang anak kecil tidak terlalu memahaminya. Aku hanya menduga mereka hanya berebut sesuatu yang mereka sebut "hidup", suatu keadaan memperpanjang "hidup" dengan membunuh nyawa orang. Ramai, sangat ramai, ada puluhan orang tergeletak; puluhan lainnya masih membawa pedang, pisau, kapak, panah, tombak, dan senjata lainnya. Berebut sesuap "hidup" yang dimiliki dalam diri lawannya. Ada orang yang telah tertusuk puluhan kali, tetapi masih sanggup berdiri. Ada yang dadanya bocor mengeluarkan berliter-liter darah tetapi masih sanggup melawan. Aku tidak tahu sudah sejak kapan mereka bertarung disitu.
Sungguh pertempuran yang rumit, aku gemetar, menjauh dan mengintip perang tersebut dari balik tembok...

17 Februari 2010, pukul 23.45...
"Apa-apan ini?" gumamku dalam hati, mereka masih saja bertarung. Hampir 2 hari mereka mempertahankan ego dan hidupnya, sudah banyak yang tumbang, namun masih tersisa beberapa manusia setan yang seakan semakin kelaparan membunuh. Rasanya aku ingin kabur sejauh mungkin dari kota ini, tapi kemudian aku melihat orang keparat itu. Satu-satunya yang tersisa dari pertempuran itu, dia berdiri diantara tumpukan mayat dijalanan yang telah berwarna merah darah.
Dari arah belakang aku belari, sambil membawa belati milik ayah yang selama ini kusimpan dalam saku celana usangku. Berlari, mempercepat langkah menuju bajingan yang membuat hidupku sepi. "PPAAMAAANNNN!!!!!!" "SIIIAAALLLLLLLAAANNNNNNNN!!!!" teriakku tiba-tiba sambil menancapkan belati di punggungnya.

Dia terjatuh, tumbang...
Aku terengah-engah mengatur nafas. Tapi bajingan masih bisa itu berdiri, tanggannya meraih punggung dan mencabut belati ayahku.
"Ah untung saja, tidak apa-apa lah, aku masih mempunyai 221 nyawa", gerutu orang tersebut. Matanya yang hitam menatap lekat padaku, dia masih saja tersenyum seperti 10 tahun yang lalu. Gemetar tubuhku kembali menguat saat berhadapan dengannya. Sambil tersenyum, kemudian dia mengembalikan belati ayah padaku.

"Hai, lama tidak bertemu, kamu kemana saja, Kupo?" sambil menyapa dia menepuk-nepuk kepalaku.
Aku hanya bisa menunduk...
"Aku senang kalau kamu selamat, wah kamu semakin besar saja, haha.. tapi garis wajahmu tidak banyak berubah, masih seperti Kupo waktu kecil dulu" kembali dia melanjutkan percakapan yang menurutku bodoh.
Aku sendiri masih menunduk...
Akhirnya dia menundukkan kepala, dan kembali menatap mataku...
"Plak!!" Kutampar wajahnya saat itu, "Kenapa waktu itu paman Rev membunuh ayah, ibu, dan kakak?" tanyaku sambil terisak.

"Haha.. maaf ya? karena waktu itu kurasa umurku tinggal sebentar lagi, waktu itu rambutku sudah memutih kan? jadi tidak ada cara lain, sesuai hukum alam jika ingin memperpanjang umur ya kita harus mengambil nyawa seseorang" Jawabnya sambil menggaruk-garuk kepala dengan rambutnya yang kini sudah kembali hitam seperti masa muda dulu.
"Praakkkk!!! Praaakkk Prakk!!" dengan sisa-sisa tenaga aku memukul wajah paman, dan aku kembali terdiam, tubuhku lemas.
Dia hanya tersenyum...

"Sekarang apa yang akan kamu lakukan? ayo ikut bersamaku, dunia ini sekarang sudah sepi. Mungkin sekarang hanya sedikit orang yang hidup, orang-orang kota Veal juga sudah mati, tadi mereka berebut jatah makanan di kota ini, itulah sebabnya mereka bertengkar, eh tepatnya berperang, hehe..." dia masih saja tersenyum ketika mengatakannya, padahal dia telah membunuh begitu banyak orang saat itu.
Aku masih membisu, aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk memberikan perlawanan fisik pada paman Rev.

Aku mengatur nafas..
"Paman? aku membenci paman, aku tidak ingin hidup dengan makhluk sepertimu, anda tidak lagi kuanggap keluargaku. Paman telah mengambil hal yang lebih penting dari hidupku, yaitu keluargaku"
"Ya, tadi kau mengatakan dunia ini sudah sepi kan?" tanyaku sekali lagi.
Bagaimana kalau begini...

Secepat kilat belati ayah tadi kutusukkan ke jantungku. "Selamat tinggal, semoga harimu menyenangkan" begitulah kata-kata terakhir yang kuucapkan.
Pada detik akhir, samar-samar untuk pertama kali kulihat senyuman orang itu memudar.

Sekarang aku hilang dari dunia, dan kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah MATI.
dan nasib paman tadi? "hm,, bayangkan saja jika kamu memiliki umur yang sangat panjang namun hidup sebatang kara, tanpa siapa-siapa"

~tamat, bubar, the end, selesai, terima kasih, matur nuwun, thank you~

author : Kyuu // Zulham
created : 23.30 (17/02/10) - 01.00 (18/02/10)
ng, sebenarnya aku ingin memperpanjang alur cerita, tapi karena besok mau ngurus KRS, ya tak buat sejadinya aja deh..
*merem, tidur dulu ah* ~_~

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Cerita Kontemplasi - Blogger Theme by BloggerThemes & freecsstemplates - Sponsored by Internet Entrepreneur